oleh

Peran Perempuan sebagai Negosiator dan Mediator Perdamaian di Asia Tenggara

Jakarta  – “Berbagai kelompok etnis, agama, dan bahasa, akan selalu eksis di Afghanistan. Karena itu, jika menginginkan perdamaian yang berkelanjutan maka keberagaman tersebut harus diterima dan dijaga oleh semua pihak” (17/06/2021).

Seperti dilansir dari situs kemlu.go.id, Hal itu yang disampaikan Fatima Gailani pada Dialogue on the Role of Women Negotiators and mediators in the Afghanistan Conflict, Sebagai satu dari empat perempuan juru runding pada Peace Talks antara Republik Islam Afghanistan dengan Taliban, Fatima Gailani menceritakan pengalamannya saat harus bernegosiasi dengan Taliban dan meyakinkan pihak Taliban agar mau menerima kiprah perempuan di berbagai sektor mulai dari pendidikan hingga politik.

Perdamaian tidak hanya berarti kondisi yang tidak sedang berperang. Tetapi lebih dari itu, munculnya rasa saling menghormati dan inklusivitas di antara berbagai kelompok, termasuk perempuan dan perannya pada setiap tahan proses perdamaian.

Keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian juga menjadi semakin timely dengan adanya kompleksitas pandemi saat ini. Dan keterlibatan perempuan tersebut akan menjadi lebih kuat ketika berada dalam sebuah jejaring perempuan.

Baca Juga  BMKG Peringati Masyarakat Terkait Cuaca Ekstrem di 21 Wilayah di Tanah Air

Saat memandu Dialogue Panel on Women and Conflict in Southeast Asia: Best Practices and Lesson Learned, Dr. Noelen Heyzer, anggota UN Secretary General’s High Level Advisory Board on Mediation, menjelaskan bahwa dengan berbagai tantangan yang dihadapi kawasan Asia Tenggara, jejaring negosiator dan mediator perempuan di kawasan, seperti the Southeast Asian Network of Women Peace Negotiators and Mediators (SEANWPNM), harus terus berperan aktif dan berperan dalam resolusi konflik di Asia Tenggara.

Dalam dialog tersebut, 6 anggota Steering Committee SEANWPNM juga berkesempatan membagikan pengalamannya sebagai negosiator dan mediator perdamaian di kawasan Asia Tenggara.

Shadia Marhaban (Indonesia), salah satu anggota Steering Committee yang memiliki latar belakang sebagai anggota tim negosiasi perdamaian Aceh, misalnya, menjelaskan bahwa implementasi dari sebuah kesepakatan perdamaian merupakan kunci peningkatan kiprah perempuan, yang ditindaklanjuti dengan penyediaan anggaran khusus bagi program-program perempuan.

Sementara itu, Lilianne Fan (Malaysia) yang memiliki pengalaman di bidang dampak krisis pasca konflik menyampaikan bahwa pelajaran berharga yang diperoleh dari menangani isu Rohingya adalah pentingnya mendengarkan, mengamati, dan tidak menghakimi mereka yang terdampak konflik.

Baca Juga  Muzani: Palestina Adalah Bangsa Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia

Ia juga menekankan pentingnya bantuan kemanusiaan tidak dipolitisasi dan tidak dimanfaatkan sebagai bargaining tool dalam negosiasi.

Masih terkait konflik di Myanmar, Dr. Emma Leslie (Kamboja), Executive Director of the Centre for Peace and Conflict, memberikan gambaran tentang kompleksitas konflik yang harus dihadapi dengan pendekatan multi-faceted oleh tokoh-tokoh masyarakat termasuk oleh perempuan.

Pelajaran yang bisa diambil dari isu Myanmar adalah bagaimana merealisasikan power-sharing diantara berbagai actors, termasuk generasi muda perempuan, dan mentransformasikan negara tersebut ke arah yang lebih baik.

Prof. Miriam Coronel-Ferrer (Filipina) sebagai Chair of the Government Panel dalam negosiasi dan penandatanganan the Comprehensive Agreement on Bangsamoro (CAB) dengan the Moro Islamic Liberation Front (MILF) berpendapat bahwa konflik yang sedang berlangsung di Myanmar memerlukan upaya tercapainya power-sharing di antara sub-national dan national element tanpa meninggalkan peran perempuan.

Baca Juga  Sinergi Sucofindo dan Indonesia Halal Lifestyle Center Untuk Membangun Ekosistem Industri Halal

Selanjutnya, dari sisi pegiat HAM, Angkhana Neelapaijit (Thailand) menekankan akses terhadap keadilan dan pemulihan korban di wilayah konflik sebagaimana pengalamannya saat terjun dalam konflik di Thailand Selatan. Menurutnya, perempuan pengungsi dan pencari suaka sering menjadi korban pelanggaran HAM.

Bahkan perbedaan genderpun biasa digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Karena itu, perempuan harus terlibat dalam manajemen konflik dan proses pengambilan keputusan melalui gender mainstreaming dan gender equality.

Dialogue Panel on Women and Conflict in Southeast Asia: Best Practices and Lesson Learned merupakan bagian dari rangkaian Regional Forum of Women Peace Negotiators and Mediators yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan SEANWPNM pada tanggal 15-24 Juni 2021.

Kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang aktif bergerak dalam resolusi konflik dan bina damai, diharapkan dapat menginspirasi, meningkatkan kapasitas dan mencetak perempuan – perempuan mediator dalam bidang perdamaian. (*/cr2)

News Feed